banner 728x250

Dari Kasus Lahat ke Pohuwato, Kajari Arjuna : CRA Jadi Peta Risiko Korupsi Desa

CRA
Kepala Kejaksaan Negeri Pohuwato, Dr. Arjuna Meghanada Wiritanaya, SH, MH (Foto : Imam/Forwaka)
banner 120x600

Pohuwato, AndalanIDN – metode Asesmen Risiko Korupsi atau Corruption Risk Assessment (CRA) kini menjadi sorotan penting dalam upaya pencegahan korupsi untuk mengindentifikasi kelemahan yang memberikan peluang terjadinya tindak pidana korupsi . Metode ini menekankan pada pemetaan titik rawan korupsi, analisis tren penindakan hukum, hingga membaca pola dari pemberitaan media atas dugaan korupsi. Tujuannya sederhana, mendeteksi risiko sejak dini agar aparat pemerintah, khususnya di desa agar tidak terjerumus ke dalam praktik-praktik menyimpang.

Metode inilah yang dipakai Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Pohuwato, Dr. Arjuna Meghanada Wiritanaya, SH, MH saat memberikan penyuluhan hukum kepada para kepala desa dan aparatur desa di Aula Kecamatan Randangan yang dihadiri seluruh perangkat desa dari tiga Kecamatan yakni Kecamatan Patilanggio, Randangan dan Taluditi, Kamis (31/07/2025).

Dalam materinya, Kajari Pohuwato secara terbuka mengaitkan analisis risiko tersebut dengan berbagai kasus yang telah ditangani dan adanya pemberitaan yang viral belakangan ini.

Salah satu yang disorot adalah kasus pagar laut Desa Kohot. Kajari mengingatkan, tindak pidana korupsi tidak selalu identik dengan kerugian negara atau kerugian desa semata. Lebih dari itu, keputusan kepala desa dalam menerbitkan surat keterangan, perizinan, atau kebijakan tertentu pun bisa terindikasi suap, pungli, maupun gratifikasi jika tidak sesuai prosedur dan adanya konflik kepentingan.

Kajari juga menyinggung kasus besar di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, yang menyeret 20 desa sekaligus dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT). Dalam kasus itu, para kepala desa terbukti menyetorkan dana Rp 7 (tujuh) juta per desa untuk sebuah kegiatan yang kemudian berujung pada proses hukum.

“Ini jadi pelajaran penting. Jangan sampai pola-pola seperti ini terjadi di Pohuwato. Hati-hati dalam penggunaan keuangan desa, apalagi bila ada pengumpulan dana untuk kegiatan tertentu. Semua harus sesuai ketentuan, sesuai perencanaan, dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum,” tegas Kajari.

“Jadi jangan sampai terjadi kejadian yang sama di Kabupaten Pohuwato,” tambahnya.

Ia menekankan, Kejaksaan tidak hanya melakukan penindakan, tetapi juga upaya pencegahan melalui edukasi hukum. Namun bila peringatan ini diabaikan, Kajari memastikan langkah hukum tetap akan diambil.

Kejari Pohuwato sendiri telah memulai pendekatan ganda dengan edukasi sebagai bentuk pencegahan sekaligus penegakan hukum. Edukasi dilakukan melalui penyuluhan hukum dan pengenalan metode CRA. Namun bila tanda peringatan ini diabaikan, jalur hukum siap ditempuh.

Pohuwato sebagai daerah yang terus bertumbuh dengan banyak program desa bukan pengecualian. Di sinilah urgensi CRA yang dibawa Kejari dalam kegiatan penyuluhan hukum memberikan peta risiko agar para kades mampu menahan diri dan mengelola keuangan dengan integritas, transparan dan partisipatif.

Kajari menutup penyuluhan itu dengan kalimat yang seakan menjadi alarm, “Jika semua didasari dengan itikad baik dalam membangun, maka semua akan baik hasilnya dan ketidaktahuan tentang aturan dan hukum bukanlah menjadi alasan pemaaf maupun alasan pembenar,” tegasnya.

Peringatan ini jelas bukan ancaman kosong. Kasus OTT Lahat menjadi contoh nyata bagaimana praktik “setoran wajib” yang dianggap biasa akhirnya menyeret puluhan desa sekaligus ke meja hijau.

Kajari berpesan agar semua kejadian tersebut juga menjadi pengingat bahwa pencegahan korupsi tak hanya soal hukum, tetapi juga soal etika kepemimpinan dan budaya antisipatif dari tiap individu.

(Abd/Forwaka)

banner 325x300