Oleh: Jhojo Rumampuk
Opini – Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) 2025 seharusnya menjadi momentum penegakan hukum yang berani, transparan, dan berpihak pada publik. Namun di Gorontalo, momen tahunan ini justru terasa seperti panggung ironi.
Di satu sisi, Kejaksaan Tinggi Gorontalo mengklaim telah “menyelamatkan” Rp 882 juta uang negara dari penanganan 39 perkara korupsi sepanjang Januari-November 2025.
Di sisi lain, publik justru mempertanyakan berapa sebenarnya biaya negara untuk menangani satu perkara? Dan lebih jauh, apa gunanya bicara penyelamatan kerugian negara bila ongkos penanganan perkara justru jauh lebih besar dari nilai yang diselamatkan?
Karena publik tidak pernah diberi penjelasan rinci, mari kita gunakan standar logis dari DIPA Kejaksaan tentang biaya penanganan satu perkara. Mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga proses administrasi dan operasional dapat mencapai puluhnn bahkan ratusan juta rupiah per kasus.
Ini mencakup biaya perjalanan dinas, pemanggilan saksi, gelar perkara, kebutuhan teknis penyidikan, serta biaya tambahan lain-lain, sesuatu yang seringkali tidak pernah diumumkan secara terbuka.
Di tempat lain, angka penanganan 1 perkara mencapai 200 juta rupiah. Jika kita ambil angka konservatif sebesar 100 juta per kasus (padahal di banyak kejaksaan lain bisa lebih tinggi), dan Kejati menangani 39 perkara, maka total biaya operasional minimal mencapai.
39 perkara × Rp 100 juta = Rp 3,9 miliar
Lalu kita bandingkan dengan klaim penyelamatan negara yang digembar-gemborkan sebesar Rp 882 juta.
Artinya, negara justru defisit biaya, bukan untung. Secara matematis, publik dipaksa menerima kenyataan pahit bahwa biaya penanganan perkara justru lebih besar dari nilai kerugian yang diselamatkan.
Rp 3,9 miliar (biaya) – Rp 882 juta (diselamatkan) = negara minus Rp 3 Miliar 18 juta rupiah.
Dalam dunia akuntabilitas publik, ironi seperti ini adalah pukulan telak terhadap kredibilitas institusi penegak hukum.
Berdasarkan konferensi pers Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Gorontalo, Umaryadi, pada 9 Desember 2025, dari 39 perkara korupsi yang ditangani sepanjang tahun 2025
Saat ini, lima kasus berada di tahap penyidikan dengan dua tersangka telah ditahan, sementara tiga perkara lainnya masih dalam proses pendalaman. Tiga perkara belum ditetapkan tersangkanya karena masih menunggu hasil perhitungan kerugian negara dari BPKP dan pemeriksaan saksi-saksi.
Pertanyaannya, Mengapa tidak ada data rinci per kasus? Mengapa tidak ada transparansi biaya penanganan? Publik berhak tahu!
Sepanjang 2025, beberapa kasus korupsi mencuat ke publik, namun penanganannya terkesan lambat dan selektif.
1. Korupsi Proyek Kanal Banjir Tanggidaa
Ini adalah kasus terbesar yang berhasil ditangani. Mantan Kepala Dinas PUPR Provinsi Gorontalo, Handoyo Sugiharto, dan kontraktor Alfandi Laya ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan pada 7 Oktober 2025. Handoyo diduga menerima uang Rp 100 juta dari Alfandi terkait proyek yang dimulai pada 2022.
Sebelumnya, tiga terdakwa Romen S. Lantu (Kepala Bidang SDA Dinas PUPR), Kris Wahyudin Thaib (Direktur PT MGK), dan Rokhmat Nurkholis (Direktur CV Canal Utama Engineering), telah divonis 4 tahun penjara dengan kerugian negara mencapai Rp 4,5 miliar.
2. Kasus Perjalanan Dinas Fiktif Kota Gorontalo
Pada 24 Juni 2025, Kejati Gorontalo menggeledah Kantor Wali Kota Gorontalo dan mengamankan dokumen SPJ serta tiga unit komputer terkait dugaan korupsi perjalanan dinas periode 2019-2024. Hingga kini, kasus ini masih dalam tahap penyidikan tanpa penetapan tersangka yang jelas.
3. Kasus Korupsi di Gorontalo Utara
Kejari Gorontalo Utara mencatat kinerja yang lebih transparan dengan data konkret:
– 15 kasus penyelidikan
– 6 kasus penyidikan
– 2 kasus penuntutan
– 1 kasus eksekusi
Dengan pemulihan keuangan negara sebesar Rp 1,6 miliar.
Kasus-kasus yang ditangani meliputi:
– Dugaan korupsi PUDAM Tirta Gerbang Emas dengan potensi kerugian sekitar Rp 1,6 miliar, dengan dua tersangka telah ditetapkan
– Dugaan penyimpangan proyek Masjid Jabal Iqro’ Blok Plan Molingkapoto dengan estimasi kerugian sekitar Rp 700 juta
– Dugaan korupsi pengelolaan keuangan Desa Gentuma dengan kerugian mencapai ratusan juta rupiah
– Kasus dana BKAD senilai Rp 4,3 miliar dengan modus bimbingan teknis yang mencurigakan
4. Kasus-Kasus yang Masih “Tertidur”
Tiga kasus yang belum menetapkan tersangka meliputi, Perjalanan dinas di Kota Gorontalo, hibah dana KONI Gorontalo, dan pengadaan videotron di Dinas Kominfo Provinsi Gorontalo.
Selain itu, masih ada deretan kasus yang dibisikkan dari lorong-lorong lembaga penegak hukum:
– Kasus korupsi proyek mark-up
– Kasus lanjutan (Novum Baru) terhadap 6 orang terlibat kasus Septic Tank di Pohuwato
– Gratifikasi yang menyeret Ketua DPRD
– Kasus anggaran PEN
– Kasus Mafia Tanah Bolango Ulu
– Dugaan gratifikasi terhadap oknum APH di Kejaksaan Tinggi Gorontalo
– Mafia tambang yang seperti sengaja di peti eskan
Harkodia adalah panggung moral. Tetapi apa jadinya ketika moral itu dikorbankan di meja gelap penanganan perkara? Hingga kita semua pun dipaksa bertanya tentang makna Harkodia bila,
1. Ada laporan publik yang “tertidur” bertahun-tahun
2. Ada kasus yang digantung tanpa alasan jelas
3. Ada penyelidikan yang tak pernah diumumkan progresnya
4. Ada aroma “penanganan berbayar” yang dibisikkan dari lorong-lorong
5. Ada kasus besar yang mulai dari korupsi perjalanan dinas hingga mafia tambang yang sengaja di-peti-eskan
Saat itu terjadi, maka Hakordia bukan lagi momentum pemberantasan korupsi. Ia hanya upacara seremonial yang dibungkus spanduk, baliho, dan pidato formal yang hambar.
Kita layak bertanya, Mengapa biaya penanganan perkara bukan informasi publik yang terbuka? Padahal uang itu berasal dari DIPA, sumbernya adalah APBN, dan dari pajak rakyat.
Jika biaya sebenarnya lebih besar dari angka estimasi, maka defisit keuangan negara semakin besar. Jika lebih kecil, mengapa tidak diumumkan? Mengapa tidak ada laporan periodik? Mengapa tidak ada mekanisme audit terbuka?
Ketertutupan seperti ini membuka ruang gelap yang nyaman untuk penyalahgunaan anggaran internal. Ketika aparat penegak hukum bicara tentang transparansi kepada tersangka dan terdakwa, pertanyaan baliknya sederhana adalah Mengapa kalian sendiri tidak transparan kepada publik?
Prestasi atau Propaganda?
Tidak cukup lagi Kejati hanya datang membawa angka penyelamatan kerugian negara tanpa membuka berapa biaya yang dihabiskan untuk menyelamatkan angka itu.
Sebab jika angka biaya lebih besar dari hasil, maka laporan kinerja itu berubah menjadi “propaganda”, bukan prestasi.
Kinerja penegakan hukum tidak diukur dari seberapa lantang spanduk Hakordia dikibarkan, seberapa meriah seremonial digelar? Tetapi dari seberapa banyak kasus besar dituntaskan, seberapa konsisten hukum diterapkan tanpa negosiasi, seberapa bersih aparat dari transaksi gelap dan seberapa sigap merespon laporan masyarakat tanpa “tebang pilih”..???
Hakordia 2025 harus menjadi momen evaluasi total. Jika Kejati Gorontalo ingin bicara penyelamatan uang negara, maka buka juga data pengeluaran penanganan perkara. Sebab, jika bicara transparansi, maka buka progres kasus yang selama ini tenggelam.
Jika bicara komitmen antikorupsi, maka tunjukkan keberanian menghadapi mafia proyek, mafia tambang, dan mafia anggaran bukan hanya kasus kecil yang tidak menimbulkan risiko politik.
Klaim penyelamatan Rp 882 juta tanpa membuka biaya penanganan perkara adalah informasi timpang dan informasi timpang adalah akar dari distrust publik.
Dari uraian diatas, maka bisa disimpulkan bahwa rakyat Gorontalo tidak menuntut hal mustahil. Hanya dua hal yang paling penting yaitu kejujuran dan keberanian.
Jika Kejati tidak mampu menghadirkan keduanya, maka Harkodia 2025 hanya akan menjadi perayaan omong kosong yang jauh dari fakta lapangan.
Hari ini data konkret menunjukkan bahwa ada 39 kasus ditangani sepanjang 2025, bahwa Rp 882 juta diselamatkan (tingkat provinsi), bahwa Estimasi biaya penanganan. Rp 3,9 miliar (dengan asumsi Rp 100 juta per kasus) dan defisit bersih Rp 3 miliar 18 juta rupiah.
Angka ini belum termasuk biaya overhead, biaya operasional kantor, dan biaya tidak langsung lainnya yang seharusnya masuk dalam perhitungan akuntabilitas publik.
Angka-angka diatas serta ilustrasi proses biaya penanganan perkara, adalah system dan pola kerja sebuah lembaga yang kita sebut Kejaksaan. dari beberapa data diatas, belum termasuk proses yang terjadi ditingkat Kejaksaan Negeri se Gorontalo. Hari ini, dengan minimnya anggaran di DIPA Kejaksaan, maka publik juga bisa menuntut transparansi hibah resmi yang diberikan di Kejaksaan. Entah itu berbentuk uang, bangunan, kenderaan dinas atau kolaborasi program sepanjang tahun anggaran.
(Bersambung)













