banner 728x250

Kajari Pohuwato Ingatkan Konsekuensi Hukum Dibalik Rusaknya Lingkungan

Kerusakan Lingkungan
Kepala Kejaksaan Negeri Pohuwato, Dr. Arjuna Meghanada Wiritanaya, SH, MH (Foto : AndalanIDN)
banner 120x600

Pohuwato, AndalanIDN – Isu kerusakan lingkungan di Indonesia semakin lama semakin menggema dimana-mana. Mengingat dampak yang ditimbulkan bagi keberlangsungan kehidupan menjadikan hal ini urgent dan penting untuk dibahas.

Kerusakan lingkungan bahkan Deforestasi dapat terjadi akibat pengrusakan hutan, alih fungsi hutan, pertambangan ilegal (PETI), penebangan liar, pencemaran udara, air dan tanah, serta pembuangan sampah sembarangan.

Dari data per Agustus 2021 oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat terdapat 2.741 lokasi tambang ilegal atau Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di Indonesia.

Sedangkan terkait Deforestasi data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Deforestasi netto di Indonesia pada tahun 2021-2022 adalah 104 ribu hektare.

Akibatnya, kerusakan lingkungan yang parah menyebabkan terganggunya ekosistem kehidupan yang bisa mengakibatkan pemanasan global dan bencana alam seperti banjir, tanah longsor, belum lagi dampak kerugian ekonomi dan Kesehatan seperti wabah penyakit dan hilangnya sumber mata air atau aliran air yang menjadi masalah lanjutan yang dapat terjadi.

Kabupaten Pohuwato salah satu daerah yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) tidak luput dari masalah dan isu kerusakan lingkungan yang dihadapi.

Aktifitas pertambangan ilegal (PETI) dan isu Deforestasi hutan menjadi momok yang menakutkan yang dihadapi daerah di ujung barat Provinsi Gorontalo saat ini.

Padahal jerat hukum bagi para pelaku yang terbukti melakukan pengrusakan lingkungan sangat serius seperti yang disampaikan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Pohuwato, Dr. Arjuna Meghanada Wiritanaya, SH, MH.

Ancaman Hukuman :

Dari sisi regulasi, PETI melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pada pasal 158 UU tersebut, disebutkan bahwa orang yang melakukan penambangan tanpa izin dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000. Termasuk juga setiap orang yang memiliki IUP pada tahap eksplorasi, tetapi melakukan kegiatan operasi produksi, dipidana dengan pidana penjara diatur dalam pasal 160.

Di pasal 161, juga diatur bahwa setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan/atau pemurnian, pengembangan dan/atau pemanfaatan pengangkutan, penjualan mineral dan/atau batubara yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin lainnya akan dipidana dengan pidana penjara.

Sementara itu, bagi para pelaku ilegal logging atau pembalakan hutan ilegal yang dapat menyebabkan Deforestasi dilansir dari Ppid.menlhk.go.id akan diancam pidana maksimal 15 Tahun dan denda 100 juta.

Pelaku kejahatan illegal logging dijerat dengan Pasal 19 Huruf A dan atau B Juncto Pasal 94 Ayat 1 Huruf a dan atau Pasal 12 Huruf E Juncto Pasal 83 Ayat 1 Huruf B, Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan ancaman pidana penjara maksimum 15 tahun dan denda maksimum Rp 100 miliar.

Kejaksaan Negeri Pohuwato sebagai bagian dari Aparat Penegak Hukum (APH) di wilayah Kabupaten Pohuwato terus melakukan penindakan tegas terhadap perkara mengenai isu lingkungan.

“Isu kerusakan lingkungan ini memang kami melihat sedang marak dari pemberitaan baik itu pertambangan dan wood pellet atau isu Deforestasi. Kami sebagai penegak hukum tentunya selalu mengambil upaya-upaya tegas karena sudah beberapa ada perkara pertambangan yang kita sudah laksanakan sampai dengan perkara itu berkekuatan hukum tetap atau inkrah. Semua perkara itu kita proses sesuai dengan ketentuan,” ungkap Arjuna saat ditemui di sela-sela kegiatan di Balai Rehabilitasi Adhyaksa Pohuwato, Rabu (09/10/2024).

Sebagai pejabat yang terhitung baru beberapa bulan di Pohuwato, Dr. Arjuna menilai persoalan lingkungan adalah masalah yang sangat kompleks. Dimana ada hak masyarakat tradisionil dan adanya oknum-oknum tidak bertanggungjawab yang ingin mengambil keuntungan secara melawan hukum.

“Untuk dampak lingkungan saya rasa ini memang sifatnya kompleks karena ada hak masyarakat juga disana yaitu penambang tradisional. Tetapi saya melihat secara pribadi menilai bahwa ada oknum-oknum juga yang mengatasnamakan penambang tradisional yang mengambil keuntungan dengan cara-cara yang tidak dapat dipertanggungjawabkan,” terang Arjuna.

“Sehingga penambangan ini menjadi liar, kalau bahasa kerennya TSM, Terstruktur, Sistemis dan Masif. Kenapa bgitu? Karena memang terlihat bisa kita lihat dan kita tidak bisa menutup mata,” tambahnya.

Namun kata Arjuna, berbagai penindakan hukum tidak bisa mengesampingkan hak-hak masyarakat tradisional itu yang menurutnya paling penting. “Jangan sampai kita mengambil penegakan hukum tetapi merampas hak-hak penambang tradisionil itu jadi memang kompleksitasnya disana,” katanya.

Untuk itu perlu solusi bersama dimana persoalan lingkungan di Kabupaten Pohuwato harus di tangani oleh seluruh stakeholder mengingat begitu kompleks.

“Bagaimana solusinya? Menurut saya ini memang kita tidak bisa hanya kejaksaan sendiri atau polisi dan pemerintah kabupaten sendiri ini harus semua stakeholder harus terkait dan melibatkan masyarakat juga. Jadi apa hasilnya kita laporkan ke atas. Ini apapun hasilnya kita laporkan ke Provinsi, kira laporkan juga ke kementrian KLHK ini loh situasi di kabupaten kita ini seperti ini jadi mereka bisa ambil kebijakan juga. Artinya kita tidak menutup mata terkait kejadian itu,” kata Arjuna.

Bahkan dalam sebuah rapat, ia pernah mengusulkan untuk melakukan inventarisir luas kerusakan dan dampaknya yang terjadi pada tiap desa atau kecamatan sebagai bahan laporan ke Kementerian KLHK.

Terakhir selaku Kepala Kejaksaan Negeri Pohuwato, Dr. Arjuna menegaskan bahwa setiap perbuatan yang merusak akan selalu ada konsekuensi hukum yang serius dibaliknya.

“Yang pasti kami di Kejaksaan tetap berkomitmen untuk menyelesaikan semua perkara lingkungan yang masuk itu yang pasti dari kejaksaan,” tutup Arjuna.

Bumi dan lingkungan bukan warisan dari nenek moyang, melainkan titipan untuk anak cucu

(Imam/Forwaka)